Kamis, 17 November 2011

Matahari di Balik Awan

Matahari di balik Awan
            Sederet rumus-rumus memenuhi papan tulis hari ini. Suhu ruangan hampir mencapai 310C membuat para mahasiswa aktif mengkibas-kibaskan buku demi mengurangi rasa gerah. Siang ini AC mati dan yang paling membuat suasana semakin gerah karena dosennya tak kalah garang wajahnya jika disbandingkan dengan wajah artis cantik Meriam Belina. Usai mata kuliah kimia-fisika, para mahasiswa keluar kelas dengan wajah lesu.
            “Bri, besok ada pesta meriah, di rumah Faisal. Mau ikutan?”, ajak seorang mahasiswa pada sahabat di sebelahnya. Namun sahabat tadi hanya diam, raut wajahnya Nampak menyimpan beban berat yang sulit ditebak. Tubuh kuatnya kini lemas terduduk sperti tak berdaya, seperti tak ada gairah hidup.
            “Briyo, kamu ada masalah apa? Tak biasanya kamu lemah, lemas, dan lesu seperti ini. Aku yakin jika ikutan night party ini kamu bisa lebih rileks, sejenak kamu dapat melepaskan beban-beban masalahmu Yo..hahaha”
            “Cukup Wo, Aku lagi tidak ingin membahas party…party apan. Buang-buang dhuit saja kamu ini.”, jawab Briyo lalu pergi meninggalkan Dewo.
Dedaunan di halaman kampus berguguran dan terik matahari menyengat. Siang ini terasa panas, tak seperti biasanya. Mungkin pertanda musim kering kemarau tiba. Mahasiswa jurusan Fisika itu berjalan melewati deretan pohon-pohon ketapang yang menutupi terik matahari. Sudah cukup untuk berlindung diri dari panas. Sedari tadi, ia hanya melihat kalender di HPnya dan sesekali mengerutkan dahinya. Tiba-tiba Briyo berhenti di suatu kios kecil yang sepi pembeli. Ia mengambil Koran dan langsung membuka halaman tengah tepatnya halaman lowongan pekerjaan.
            “Harian Jogja cuma Rp 2.000,00 kok Mas.”
            “Iya Pak. Oh ya Pak, kok kios Bapak sepi, biasanya kios yang menjual es, gorengan, dilengkapi pula bacaan seperti ini rame.”
            “Wah Mas, namanya usaha itu ya ada pasang surutnya. Hari ini mungkin belum untung, tapi kemarin Alhamdulillah kios ini rame.”
Mahasiswa berbadan kekar dan tinggi itu tersenyum dan seolah ia mendapatkan ide. Sembari membolak-balik Koran, ia terus bertukar pendapat dengan pedagang kios kecil itu. Serasa panas siang itu tak dirasa olehnya.
***
            Seorang mahasiswa asli Padang yang kerap dipanggil Briyo ini adalah dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang pengusaha di perusahaan ternama di kota Padang. Sedangkan ibunya adalah ibu RT tepanya adalah ibu rumah tangga. Orang tua berkehendak ia menjadi seorang master lulusan Universitas terkenal di kota Yogyakarta dengan predikat cumlaude yang nantinya jadi dosen di Univ itu. Kakak perempuannya kini telah menempuh S2 di Jerman dan adim laki-lakinya masih kelas 2 SMA.

Mahligai Asa

Mahligai Asa

Detik demi detik t’lah kau lewati
Bersama seribu warna bersemi
Warna suka duka, hitam putih
Demi menyelami hidup
Ntuk menggapai mahligai asa

Putaran roda waktu
Membawamu berselancar damai
Tak peduli batu sandungan
Tak mengenal tanjakan tajam
Kerikil penghambat lepas terpental oleh bara semangatmu

Roda kehidupan t’rus berputar
Walau puncak asamu melangit tinggi di angkasa
Meski tubuh lemah tak berdaya
Saat detik-detik keputus asaan menerpa
Hati meronta, jiwa rapuh
Namun Tuhan mengetuk hatimu
Kau bangkit
Menepis awan hitam penyelimut kecerahan
Membuang bercak noda penutup putihnya hati

Engkau teguh mengejar cerahnya asa dan citamu
Menerjang karang penghalang
Mengembara, menggapai mahligai asa
Demi meraih puncak Ridlo Sang Pencipta