Seindah Senyum Ibunda
Dari waktu ke waktu, kasurku semakin
tipis. Dia tak dapat bertahan lama karena badanku dengan berat 50 kg ini tak
ingin lama-lama berpisah dengannya. Mengapa aku seperti ini? Ya tentu saja
karena suatu hal yang sangat beralasan. Ketika aku merasa sehat tak pernah aku
kangen dengan kasurku. Namun sakit tlah membuatku harus selalu melekat dengan
kasurku yang kian hari kian tipis.
Aku memang bandel, bebal, tak bisa diingatkan.
Hari-hariku selalu sibuk, bahkan perut sendiri sering tak dihiraukan bila
saatnya harus diisi. Mengisinya hanya saat aku ingat saja. Teman-teman kostku
mungkin sudah muak melihatku berangkat jam 6.50 dan selalu kembali ke kost
lewat jam 8 malam dengan wajah muram, tubuh lemas, dan bawaan tas gendong
berisi buku-buku tebal. Aku lelah, apalagi
orang lain yang mengamati dan mengingatkanku mungkin akan lebih lelah dariku.
Kuliah tak hanya kuliah. Hidup
berorganisasi sudah menjadi bagian dari hidup yang tak dapat terpisahkan denganku.
Sejak SD aku memang telah aktif berorganisasi. Aku tlah banyak menggeluti berbagai macam organisasi yang menemani
pengalaman hidupku. Mulai dari pramuka, bola volley, KIR, rohis, Study Club.
Semasa kuliah aku juga tengah bergelut di sebuah kepengurusan HIMA, UKM
Penelitian, jurnalistik, KMNU. Hingga menjadi
guru ngaji pun aku selami
salama hampir
1,5 tahun menjadi mahasiswa.
Tak jarang aku tiba-tiba sakit, namun sakit yang
sering menjangkiti kadang hanya pusing atau maagh. Yach…sudah biasa bagiku
semua itu.
***
Namun pada Sabtu senja, 1 Oktober
2011 aku merasakan sakit yang seolah rasa sakit tersebut menjalar ke seluruh
tubuhku. Tergolek lemah di kasur kecilku. Sahabatku memasuki kamar dan mulai
berceloteh “Pasti telat makan lagi”. Aku bosan tapi aku rindu. Aku bosan orang
lain seringkali mengingatkanku perkara “makan”. Namun aku rindu seseorang
mengucap itu padaku. Aku bosan sahabatku mulai berkata “Kau sich terlalu
kecapekan, banyak agenda, terlalu sibuk.” Aku bosan kata-kata itu diucap
sahabatku. Namun
aku rindu. Aku rindu seseorang menasehatiku seperti itu. Bukan aku tak
menghargai sahabatku, tapi aku bosan situasi ini karena aku rindu seseorang
saat aku tergolek lemas tak berdaya di kasur kecilku.
Seseorang di nun jauh sana. Sejak
aku jarang bertemu. Kadang 3 atau 4 bulan sekali aku bertemu dengannya. Dia
adalah seseorang yang sangat aku rindu nasehatnya. Dia wanita lembut dan
perkasa yang kala aku di kampung saat mudik, selalu mendapat perhatiannya.
Walau tak jarang dia memarahi namun itu tak pantas
jika dikata “memarahi”, lebih tepatnya “menasehati’. Aku rindu saat dia
menasehatiku soal persahabatan, bersosial di masyarakat, masalah hidup dan
sebagainya.
Ketika
aku sakit, semangatku hanya
ketika aku mendengar suara ibundaku.
Tak lupa beliau mengingatkan aku makan. Aku sangat senang walau
kami tak dapat bertemu langsung. Ibuku sangat menginspirasi hidupku. Prinsip
hidupnya tak mau merepotkan orang lain. Ketika ibu mampu melakukannya walau
sangat susah sekalipun, ia tak pernah meminta orang lain untuk membantunya.
Ketika itu aku ingat saat beliau mengumpulkan tanah, mulai dari mencangkul,
membawanya ke rumah dan meratakannya ia sama sekali tak mau dibantu. Saat itu
rumah kami masih baru dibangun dan harus diisi tambahan tanah agar tanahnya
padet. Bapakku agak gak peduli terhadap kesibukan ibu.
Wanita yang telah melahirkanku
adalah seorang ibu rumah tangga. Meski ia tidak bekerja yang berpenghasilan,
namun ia selalu mencari kesibukan yang bermanfaat bagi orang banyak. Yang
membuatku tak lupa hingga hari ini ialah ia gak akan berhenti menyapu halaman
rumah, masjid, jalanan menuju masjid sebelum Maghrib bersuara. Ia memulai sejak
jam 4 sore setelah sholat ‘Asar. Aku heran saat berpuasa pun ia kadang gak mau
berhenti walau sudah diingatkan telah datang waktu berbuka sebelum ia
merampungkan pekerjaannya.
Saat aku sakit bayangan ibunda yang
terngiang dalam pikirku. Aku selalu berkata “seandainya ibu di sini”
berulang-ulang hingga membuat temanku bosan mendengar rintihanku. Bagaimana
tidak, karena makanan yang masuk ke mulutku sesampainya di lambung aku
keluarkan lagi. Panas badanku mencapai 38,50 C. Badanku terasa sakit
semua, pikiranku kacau seakan semua yang ada di sekelilingku mengutukku dan
tertawa atas kesakitanku. Aku merasa sendiri walau ada sahabat Febri yang setia
membantuku di saat sakitku.
***
Pelajaran hidup yang dapat kupetik
ketika aku tlah sembuh dari sakit, “Ingatlah dirimu ketika sakit, kau tak dapat
berbuat apa-apa. Bahkan kau menyusahkan orang lain. Tak ada Ibu yang
menemanimu. Maka jangan sekali-kali kamu menyiksa dirimu, jagalah kesehatanmu.
Karena kesehatan itu mahal harganya”
Kini aku tlah sembuh dari sakitku,
namun aku sakit kembali ketika mendengar ibuku terbaring di kasur terus setiap
hari dan kondisinya lemah. Aku di sini merasakan sakit itu. Karena sakit yang
aku derita dulu sama dengan sakit yang diderita ibuku sekarang. Walau aku sedih
namun aku tak akan menampakkan rasa sedih itu. Walau aku sedang banyak masalah
dalam hidupku, aku tak akan curhat padanya. Aku tak mau menambah beban
pikirannya. Yang harus
aku lakukan adalah aku menyemangati beliau seperti apa yang beliau lakukan terhadapku. Yang
harus aku lakukan adalah bagaimana aku dapat membahagiakannya. Aku
harus mampu melakukan itu.
Aku sangat rindu padanya. Rindu pada senyumnya. Aku sangat merindukan seindah
senyum ibunda yang kian terbayang dalam anganku.
Kini ia sedang sakit, aku tak mampu berbuat apa-apa
selain aku senantiasa mendo’aknnya dari sini. Dari seberang kota yang terpaut
ribuan kilo. Aku rindu padanya. Aku ingin ke kampung halaman, datang dan segera
memeluknya serta berucap “Ibu, aku sangat rindu padamu”.
Biodata Singkat Penulis
Nama :
Anifatur Rosidah
Kota :
Ponorogo
Pendidikan :
Jurusan Pendidikan IPA Angkatan 2010
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
ya,,itu dijadikan pelajaran
BalasHapus