Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Maret 2012

Seindah Senyum Ibunda


Seindah Senyum Ibunda
            Dari waktu ke waktu, kasurku semakin tipis. Dia tak dapat bertahan lama karena badanku dengan berat 50 kg ini tak ingin lama-lama berpisah dengannya. Mengapa aku seperti ini? Ya tentu saja karena suatu hal yang sangat beralasan. Ketika aku merasa sehat tak pernah aku kangen dengan kasurku. Namun sakit tlah membuatku harus selalu melekat dengan kasurku yang kian hari kian tipis.
            Aku memang bandel, bebal, tak bisa diingatkan. Hari-hariku selalu sibuk, bahkan perut sendiri sering tak dihiraukan bila saatnya harus diisi. Mengisinya hanya saat aku ingat saja. Teman-teman kostku mungkin sudah muak melihatku berangkat jam 6.50 dan selalu kembali ke kost lewat jam 8 malam dengan wajah muram, tubuh lemas, dan bawaan tas gendong berisi buku-buku tebal. Aku lelah, apalagi orang lain yang mengamati dan mengingatkanku mungkin akan lebih lelah dariku.
            Kuliah tak hanya kuliah. Hidup berorganisasi sudah menjadi bagian dari hidup yang tak dapat terpisahkan denganku. Sejak SD aku memang telah aktif berorganisasi. Aku tlah banyak menggeluti berbagai macam organisasi yang menemani pengalaman hidupku. Mulai dari pramuka, bola volley, KIR, rohis, Study Club. Semasa kuliah aku juga tengah bergelut di sebuah kepengurusan HIMA, UKM Penelitian, jurnalistik, KMNU. Hingga menjadi  guru ngaji pun aku selami salama hampir 1,5 tahun menjadi mahasiswa.
            Tak jarang aku tiba-tiba sakit, namun sakit yang sering menjangkiti kadang hanya pusing atau maagh. Yach…sudah biasa bagiku semua itu.
***

            Namun pada Sabtu senja, 1 Oktober 2011 aku merasakan sakit yang seolah rasa sakit tersebut menjalar ke seluruh tubuhku. Tergolek lemah di kasur kecilku. Sahabatku memasuki kamar dan mulai berceloteh “Pasti telat makan lagi”. Aku bosan tapi aku rindu. Aku bosan orang lain seringkali mengingatkanku perkara “makan”. Namun aku rindu seseorang mengucap itu padaku. Aku bosan sahabatku mulai berkata “Kau sich terlalu kecapekan, banyak agenda, terlalu sibuk.” Aku bosan kata-kata itu diucap sahabatku. Namun aku rindu. Aku rindu seseorang menasehatiku seperti itu. Bukan aku tak menghargai sahabatku, tapi aku bosan situasi ini karena aku rindu seseorang saat aku tergolek lemas tak berdaya di kasur kecilku.
            Seseorang di nun jauh sana. Sejak aku jarang bertemu. Kadang 3 atau 4 bulan sekali aku bertemu dengannya. Dia adalah seseorang yang sangat aku rindu nasehatnya. Dia wanita lembut dan perkasa yang kala aku di kampung saat mudik, selalu mendapat perhatiannya. Walau tak jarang dia memarahi namun itu tak pantas jika dikata “memarahi”, lebih tepatnya “menasehati’. Aku rindu saat dia menasehatiku soal persahabatan, bersosial di masyarakat, masalah hidup dan sebagainya.
          

Kamis, 17 November 2011

Matahari di Balik Awan

Matahari di balik Awan
            Sederet rumus-rumus memenuhi papan tulis hari ini. Suhu ruangan hampir mencapai 310C membuat para mahasiswa aktif mengkibas-kibaskan buku demi mengurangi rasa gerah. Siang ini AC mati dan yang paling membuat suasana semakin gerah karena dosennya tak kalah garang wajahnya jika disbandingkan dengan wajah artis cantik Meriam Belina. Usai mata kuliah kimia-fisika, para mahasiswa keluar kelas dengan wajah lesu.
            “Bri, besok ada pesta meriah, di rumah Faisal. Mau ikutan?”, ajak seorang mahasiswa pada sahabat di sebelahnya. Namun sahabat tadi hanya diam, raut wajahnya Nampak menyimpan beban berat yang sulit ditebak. Tubuh kuatnya kini lemas terduduk sperti tak berdaya, seperti tak ada gairah hidup.
            “Briyo, kamu ada masalah apa? Tak biasanya kamu lemah, lemas, dan lesu seperti ini. Aku yakin jika ikutan night party ini kamu bisa lebih rileks, sejenak kamu dapat melepaskan beban-beban masalahmu Yo..hahaha”
            “Cukup Wo, Aku lagi tidak ingin membahas party…party apan. Buang-buang dhuit saja kamu ini.”, jawab Briyo lalu pergi meninggalkan Dewo.
Dedaunan di halaman kampus berguguran dan terik matahari menyengat. Siang ini terasa panas, tak seperti biasanya. Mungkin pertanda musim kering kemarau tiba. Mahasiswa jurusan Fisika itu berjalan melewati deretan pohon-pohon ketapang yang menutupi terik matahari. Sudah cukup untuk berlindung diri dari panas. Sedari tadi, ia hanya melihat kalender di HPnya dan sesekali mengerutkan dahinya. Tiba-tiba Briyo berhenti di suatu kios kecil yang sepi pembeli. Ia mengambil Koran dan langsung membuka halaman tengah tepatnya halaman lowongan pekerjaan.
            “Harian Jogja cuma Rp 2.000,00 kok Mas.”
            “Iya Pak. Oh ya Pak, kok kios Bapak sepi, biasanya kios yang menjual es, gorengan, dilengkapi pula bacaan seperti ini rame.”
            “Wah Mas, namanya usaha itu ya ada pasang surutnya. Hari ini mungkin belum untung, tapi kemarin Alhamdulillah kios ini rame.”
Mahasiswa berbadan kekar dan tinggi itu tersenyum dan seolah ia mendapatkan ide. Sembari membolak-balik Koran, ia terus bertukar pendapat dengan pedagang kios kecil itu. Serasa panas siang itu tak dirasa olehnya.
***
            Seorang mahasiswa asli Padang yang kerap dipanggil Briyo ini adalah dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang pengusaha di perusahaan ternama di kota Padang. Sedangkan ibunya adalah ibu RT tepanya adalah ibu rumah tangga. Orang tua berkehendak ia menjadi seorang master lulusan Universitas terkenal di kota Yogyakarta dengan predikat cumlaude yang nantinya jadi dosen di Univ itu. Kakak perempuannya kini telah menempuh S2 di Jerman dan adim laki-lakinya masih kelas 2 SMA.